Nendyan Saimima

A little girl. A Student. A Woman

Selasa, 15 Maret 2011

Ekonomi Indonesia

Pertumbuhan dan Perubahan Struktur Ekonomi Indonesia
Dalam lintasan sejarah, pembangunan sebagi sebuah upaya penataan ekonomi sebuah Negara – bias di telusuru dalam kurun waktu yang lama. Bahakan, pemikiran,-pemikiran adam sith yang di susun sejak abad-18 masih di jadikan rujukan bagi pembanguna ekonomi saat ini, khususnya Negara-negara maju yang mengidentifikasi ekonominya sebagai mazhab kapitalis. Tetapi dalam penyelengaraannya, proyek pembangunan sempat terhenti akibat Perang Dunia II yang melantakan sebagian besar Negara, terutam Negara-negara eropa. Setelah Perang Dunia II itulah, eropa yang hancur lebur akibat perang, dengan sendirinya memerlukan pembangunan untuk menata kembalinya perekonomiannya. Instrument pembangunan ini adalah program bantuan besar dari Amerika Serikat, yakni Marshal Aid. Program ini memiliki tujuan ganda, untuk menjalankan ekonomi dunia dan menahan laju komunisme.
Tampak sejak awal gagasan pembangunan yang mulai marak di jalankan setelah Perang Dunia II itu memiliki dua tujuan penting, khususnya lewat program Marshal Aid. Pertama, pembangunan di pakau sebagai alat untuk menyebar tata ekonomia tunggal dunia, di mana model ini mendasarkan diri pada  mekanisme pasar dan liberalisasi perdagangan. Tata ekonomi tersebut di harapkan bias mengintergretasikan setiap Negara dalam sebuah ikatan perekonomian dan menimbulkan efisiensi alokasi sumberdaya pada level internasional. Kedua, pembanguna juga memiliki tujuan politis untuk menahan perluasan ide dan penerapan komunisme yang di anggap membahayakan kepentingan amerika serikat. Bagi Negara-negara penganjur kapitalisme, komunisme nerupakan virus jahat yang tidak saja bertentangan dengan nilai-nilai kapitalisme, tetapi juga berpotensi mematikan kebebasan individu, khususnya dalam mengerjakan aktivitas ekonomi dan politik. Realitas inilah yang pantas di catat untuk memahami peta pembangunan dunia yang berlangsung saat ini.

Pertumbuhan Ekonomi selama Orde Lama hingga Saat ini.
ORDE LAMA
Selama Pemerintahan Orde Lama, keadaan perekonomian Indonesia sangat
buruk, walaupun sempat mengalami pertumbuhan dengan laju rata-rata per
tahun hampir 7% selama dekade 1950-an, dan setelah itu turun drastis
menjadi rata-rata per tahun hanya 1,9% atau bahkan nyaris mengalami
stagflasi selama tahun 1965-1966. Tahun 1965 dan 1966 laju pertumbuhan
ekonomi atau produk domestic bruto (PDB) masing-masing hanya sekitar 0,5%
dan 0,6%.
Tingginya tingkat inflasi yang sempat mencapai lebih dari 300% menjelang akhir periode Orde
Lama.
Kabinet Hatta : reformasi moneter melalui devaluasi mata uang nasional yang
pada saat itu masih gulden dan pemotongan uang sebesar 50% atas semua
uang kertas yang beredar pada bulan Maret 1950 yang dikeluarkan oleh De
Javasche Bank yang bernilai nominal lebih dari 2,50 gulden Indonesia.
Kabinet Wilopo : Untuk pertama kalinya memperkenalkan konsep anggaran berimbang dalam
APBN, memperketat impor, malakukan “rasionalisasi” angkatan bersenjata melalui
medernisasi dan pengurang jumlah personil, dan pengiritan pengeluaran pemerintah.
Pada masa Kabinet Ami I, hanya dua langkah konkret yang dilakukan dalam bidang ekonomi,
yakni pembatasan impor dan kebijakan uang ketat.
Kabinet Burhanuddin, tindakan-tindakan ekonomi penting yang dilakukan termasuk diantaranya
adalah liberalisasi impor, kebijkan uang ketat untuk menekan laju uang beredar, dan
penyempurnaan Program Benteng, mengeluarkan kebijakan yang memperbolehkan modal
(investasi) asing masuk ke Indonesia, pemberian bantuan khusus kepada pengusaha
pengusaha pribumi, dan pembatalan (secara sepihak) persetujuan Konferensi Meja Bundar
sebagai usaha untuk menghilangkan system ekonomi kolonial atau menghapuskan dominasi
perusahaan-perusahaan Belanda dalam perekonomian Indonesia.
Kabinet Ali I, praktis tidak ada langkah-langkah yang berarti, selain mencanangkan sebuah
rencana pembangunan baru dengan nama Rencana Lima Tahun 1956-1960.
Pada masa Kabinet Djuanda : dilakukan pengambilan (nasionalisasi) perusahaan-perusahaan
Belanda.

ORDE BARU
Orde Baru ini perhatian pemerintah lebih ditujukan pada peningkatan kesejahteraan
masyarakat lewat pembangunan ekonomi dan social di tanah air. Pemerintahan Orde Baru
menjalin kembali hubungan baik dengan pihak Barat dan menjauhi pengaruh ideology komunis.
Indonesia juga kembali menjadi anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan lembaga
lembaga dunia lainnya, seperti Bank Dunia dan Dana Moneter International (IMF).
Sebelum rencana pembangunan lewat Repelita dimulai, terlebih dahulu pemerintah melakukan
pemulihan stabilitas ekonomi, social, dan politik serta rehabilitasi ekonomi di dalam negeri.
Tujuan jangka panjang dari pembangunan ekonomi di Indonesia pada masa Orde Baru adalah
meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui suatu proses industrialisasi dalam skala
besar, yang pada saat itu dianggap sebagai satu-satunya cara yang paling tepat dan efektif
untuk menanggulangi masalah-masalah ekonomi, seperti kesempatan kerja dan defisit neraca
pembayaran.

Faktor Penentu Prospek Pertumbuhan Ekonomi
Tidak bisa di pungkiri bahwa interaksi antarnegara merupakan keniscayaan yang harus di
lakukan apabila tujuan pembangunan berujung pada efisiensi dan kemakmuran bersama.
Hubungan internasional antarnegara ini secara ekonomi di rasionalkan oleh dua aragumen
berikut. Pertama, kepemilikan faktor produksi yang berbeda singga suatu barang/jasa di suatu
Negara lebih murah di produksi disbandingkan Negara lain. Kedua, semakin kompleksnya
pembuatan barang/jasa karena proses nilai tambah mempersyaratkan adanya saling transfer
bahan produksi antarnegara.

Dalam realitasnya, hubungan antar Negara tersebut lebih banyak mengambil sudut pandan
kompetisi di bandingkan kolaborasi. Dari prospektif ini, hubungan ekonomi internasional
cendrung mengambil bentuk eksploitasi, dimna suatu Negara akan berupaya untuk
memperoleh kemakmuran ekonomi bagi pendudukannya dengan mengorbankan kepentingan
kesejahteraan ekonomi Negara lain. Motif hubungan internasional bukan lagi alokasi faktor
produksi secara internasional sehingga di peroleh efisiensi, melainkan membanjiri Negara lain
dengan produk barang/jasa demi memperoleh keuntungan ekonomi yang maksimal. Celakanya
lagi, seperti yang bisa di baca dalam perjalanan sejarah, hubungan ekonomi internasional
tersebut selalu memposisikan Negara maju sebagai peraih keuntungan ekonomi dan
menempatkan Negara berkembang selalu dalam posisi kalah.

Perubahan Struktur Ekonomi
Sadar selalu menjadi yang kalah dalam interaksi dengan dunia internasional, sekitar satu
decade terakhir ini telah muncul upaya konstruksif dalam rangka menyusun kemandirian
perekonomian di Negara berkembang tanpa harus terpengaruh oleh gejolak eksternal. Uapay
tersebut adalah strategi pemberdayaan dengan mengutamakan pembangunan-pembanguan
local. Strategi pembangunan local ini meletakan manusia sebagai penggagas, perumusm dan
pelaksana dari pembangunan itu sendiri. Di sini unit rumah tangga menjadi pilat terpenting
perekonomian. Tambahan yang menarik, strategi pembangunan ini memasukan tiga unsure
penting sebagai penduduknya, yakni kekekuatan social, politik, dan psikologis.

Kekuatan social di konsentarsikan pada pembukaan akses bagi berjalannya produksi tumah
tangga, seperti ; informasi, ilmu pengetahuan, dan keterampilan; partisipasi dalam organisasi
social, dan sumber daya keuangan. Kemudian kekuatan politik di tekankan pada kepemilikian
akses individu rumah tangga terhadap proses pengambilan keputusan, khususnya yang
memiliki damapak langsung terhadap masa depan rumah tangga yang bersangkutan. Terakhir,
kekuatan psikolog di orientasikan pada penemuan potensi setiap individu rumah tang, dimana
hal ini sering diukur dengan munculnya sikap percaya diri. Dalam banyak hal, keberhasilan
pemberdayaan psikolog ini adalah akibat dari berjalannya dua kekuatan sebelumnya, yakni
social dan politik.

Strategi pembanguan local ini sudah di mulai di lakukakn di Negara berkembang melalui
penyesuaian-penyesuain yang selaras dengan kondisi budaya masing-masing suatu wilayah.
Satu cirri penting yang terdapat di naegara mana pun, strategi pembanguan local ini sangat
menhendaki inisiatif lembaga-lembaga alternative di luar pemerintah. Kalau hanya
mengandalkan kelembagaan Negara disamping sumberdaya manusia dan dana yang dimiliki
sangat terbatas faktor nilai-nilai local cendrung di abaikan karena akan mengalami formalisasi
dan penyeragaman. Pada titik inilah pentingnya keberadan lembaga-lembaga alternative untuk
mengisi kekosongan itu.

Hanya yang menjadi persoalan, strategi pembangunan local di atas masih sangat rentang
dengan gejolak yang dating dari luar seperti yang terjadi dengan krisi ekonomi di Indonesia
dewasa ini. Bisa di saksikan bagaimana usaha-usaha kecil yang sudah kuat, seperti
peternakan ayam dan kerajianan kayu, mengalami kepailitan akibat krisis ekonomi tersebut.
Tentu saja hal ini memunculkan pemikiran tambahan, bahwa tindakan mikro harus juga disertai
dengan strategi makro yang memadai agar keberhasilan upaya di level paling bawah
terlindungi dari bahaya serangan globalisasi. Strategi makro yang dimaksud disini adalah
bagaimana pemerintah bisa membentengi ekonomi domestic dari pengaruh labilitas
perekonomian internasional melalui kebijakan-kebijakan protektif.

Dalam rangka usaha tersebut ada dua kebijakan yang bisa di rekomendasikan. Pertama, harus
disadari bahwa iklim globalisasi menyediakan lapangan bermain yang sangat luas dan hampir
tanpa batas. Dalam kerangka ini tindakan-tindakan domestic yang justru menghendaki
penyempitan lapangan bermain bagi pelaku ekonomi dalam negeri menjadi kehilangan
relevansinya. Dengan begitu, menurut cara pndang ini, segala pengondisiannya yang justru
menciptakan hambatan bagi setiap pelaku ekonomi untuk berpartisipasi harus di cegah.
Dengan kebijakan ini di harapkan pelaku ekonomi domestic bisa berkiparah secara maksimal
sesuai denga level kemampuan yang dimiliki sehingga dalam jangka panjang memiliki
kekuatan yang tepadu dan imun dari guncangan eksternal.

Kedua, harus di sadari bahwa pada saatnya nanti kecendrungan dunia akan mengarah pada
standarisasi dalam segala bidang. Jika saat ni standarisasi tersebut masih berlaku di bidang
ekonomi, maka pada waktunya nanti standarisasi akan merambah di bidang politik, social,
maupun hukum. Ini merupakan logika yang mudah di baca dari bagaimna selama ini Negara
negara maju memilki cara pandang dan kepentingan. Untuk itulah, dalam kerangka ini, Negara
berkembang harus terlebih dahulu.

Referensi :
- Basri, Faisal. Perekonomian Indonesia Menjelang Abad XXI. Erlangga. 1995
- Yustika, Ahmad Erani. Pembanguan dan Krisis. Grasindo. 2002
adypato.files.wordpress.com/.../sejarah-ekonomi-indonesia-sejak-orde-lama-hingga-pemerintahan.pptx

Rabu, 02 Maret 2011

MONETER

Implikasi uang ketat

Pada tahun 1990, otoritas moneter kembali melakukan kebijakan uang  ketat, melalui “gebrakan sumarlin II”. Berbeda dengan “gebrakan Sumarlin II” yang di maksud untuk meredam spekulasi pembelian valas, gebrakan jilid II ini di arahkan untuk meredam inflansi. Perekonnomian tahun 1990 sempat mengalami overheated, yang di tandai dengan investasi tingggi dan inflansi yang juga tinggi. Inflansi yang mengarah ke posisi dua digit inilah yang di pengari dengan kebijakan uang ketat.

Rupanya, kebijakan uang ketet sedang menjadi semacam trend di mana-mana. Entah secara kebetulan atau tidak, kebijakan ini tidak saja di berlakukan di Indonesia, tetapi juga di banyak Negara maju. Tentu hal ini di tempuh dengan tujuan berbeda, yang di sesuaikan dengan kepentingan masing-masing. Meski, esensinya bisa di katakana sama saja, yaitu sebagai upaya untuk menekan laju inflansi.
                Sebagai ilustras, di amerika serikat misalny, yak kurang dari chairman federal reserve alan greenspan sempat menolak kebijakan moneter longgar, sebelum kemudian pemerintah federal memutuskan untuk mengurangi deficit anggaran. Alkhirnya, di amerika berlaku tingkat bunga yang lebih rendah di bandingkan di Negara-negara maju.





Ekspansi vs Kontraksi Moneter





Di Indonesia sendiri, kebijakan uang ketat yang di tempuh otoritas moneter, termasuk hal yang hampir tak pernah di lakukan sejak deregulasi perbankan 1983. Setelah momentum penting dalam perekonomian Indonesia itu, maka rah kebijakan moneter cendrungekspansif daripada kontratif. Kecendrungan ini logis saja, mengingat kepentingan terhadap pertumbuhan ekonomi nasional. Sejak deregulasi 1983, bank-bank di beri kebebasan untuk menentukan suku bungannya sendiri, di sesuaikan dengan kemampuan dan kepentingan masing-masing. Langkah ini di tempuh agar sector perbankan beroperasi secara lebih efisien, dan sekaligus memberi dorongan pada pertumbuhan di sector rill.
                Bukan hanya deregulasi 1983 saja yang mencerminkan kebijakan moneter yang cendrung ekspansif. Kemudahan pendirian bank-bank yang diintroduksikan dengan deregulasi lima tahun sesudahnya  (pakto 1988), juga merupakan upaya untuk memobilisasi dana masyarakat secara lebih besar dan cepat. Kalaupun ada sedikit kebijakan moneter yang cendrung bersifat kontaktif, itu terjadi di pertengahan 1987, yang di kenal dengan gebrakansumarlin. Kebijakn ini, terbukti ampuh untuk menghentikan spekulasi pembelian dollar. Fasilitas dana murah dari bank Indonesia yang di pegang bank-bank umu, di duga merupakan alat yang empuk untuk berspekulasi valuta asing, di tengah-tengah gencarnya desas-desus devaluasi.

Kebijakan “Koreksi”

Berbeda dengan keadaan tiga tahun sebelumny, absorpsi rupiah yang di lakukan pada tahun 1990 tidak di maksudkan untuk menghentikan spekulasi valuta asing. Cadangan devisa berada pada posisi sekitar US$ 5,5 milyar, dan neraca perdagangan pun tetap mengalami surplus, apalagi belakangan muncul rezeki minyak. Artinya, jumlah dollar yang kita kuasai akan semakin bear, sehingga kekhawatiran bahwa cadangan devisa itu akan habis di borong, menjadi tidak beralasan. Adalah mustahil, devisa yang sebagian bank besar terutama milik pemerintah tidak melakukannya. Oleh karena itu, kalau di Jakarta sempat terdengar desas-desus devaluasi, itu benar-benar tidak logis.

Antipasi Dampak Negatif

Konsekuensi negative dari kebijakan uang ketat yang kini di risaukan adalah, jika dalam jangka panjang hal itu menyebabkan tingginya suku bunga, itu jelas. Dan bahwa suku bunga yang tinggi tidak merangsang invenstasi, itu juga merupakan dalil ekonomi yang valid dan sudah teruji. Namun, masalahnya kemudian adalah, sampai seberapa lama kebijakan uang ketat itu akan di tempuh pemerintah. Lalu, seberapa besar tingakat bungan akan naik. Dan bagaimana pula respons iklim investasi terhadap perubahan tingkat bunga.
                Pemerintah mengindikasikan, bahwa kebijakan uang ketat akan berlangsung “sampai tahun 1991”, entah kapan persisnya. Mengenai kenaikan tingkat.