Nendyan Saimima

A little girl. A Student. A Woman

Sabtu, 02 April 2011

Pertumbuhan Ekonomi Pemerintahan

Tugas Minggu 4
Akibat ketidakstabilan politik di dalam luar negari dan pengelolaan ekonomi yang sangat buruk, pada dua decade pertama sejak kemerdekaan 1945 kondisi ekonomi dan social di Indonesia sangat buruk. Produksi dan investasi mengalami stagnasi, bahkan menurun drastic di bandingkan pada masa sebelum kemerdekaan, dan tingkat tahun 1938. Pada awal pemerintahan Oede Baru tahun 1996 yang dipimpin oleh Preseden Soeharto, rata-rat orang Indonesia berpenghasilan hanya sekita 50 dollar Amerika Serikat per tahun; sekitar 60 persen anak-anak Indonesia tidak dapat membaca dan menulis;  dan mendekati 65 persen jumlah populasi hidup dalam kemiskinan absolute.
Menhadapi kondisi yang sangat buruk ini, pada tahun – tahun awal Orde Baru, tiga langkah pendting langsung dilakukan oleh pemerintah, yakni stabilitas, rehabilisasi, dan rekonstruksi ekonomi. Selain tiga langkah tersebut, pemerintah juga mempunyai rencana pembangunan lima tahun (Repelita) yang dilaksanakan secara bertahap. Repelita ini dimulai tahun 1969 dengan Repelita pertama, dan membuat sejumlah kebijakan reformasi ekonomi yang krusial pada decade 70-an dan 80-an, termasuk liberalisasi investasi, neraca modal, perbankan, dan perdagangan eksternal. Berbeda dengan periode Orde Lama, pada Era Orde Baru, industry merupakan sector prioritas utama.
Selai itu, langkah lain yang dilakukan oleh Soeharto yang juga sangat menentukan keberhasilan Orde Baru dalam pembangunan ekonomi, paling tidak ditingkat makro adalah membuka kembali hubungan baik dengan pihak barat. Salah satu konkretnya adalah memulai mengalirnya sana dari luar negri ke Indonesia, tidak hanya dalam bentuk PMA, tetapi juga BLN yang sebagian besar berupa pinjaman lunak. Lahirlah suatu konsorsium Negara-negara donor yang dikenal dengan sebutan IGGI yang dipimpin ileh Negara Belanda yang kemudian berubah menjadi CGI pada awal decade 90-an di bawah koordinasi Bank Dunia.
Hasil konkret  langkah-langkah di atas adalah pertumbuhan ekonomi yang sangat pesat dan berlangsung lama tanpa terputus selama decade 80-an hingga 1997, sesaat sebelum krisis ekonomi muncil yang mencapai titik terburuknya tahun 1998. Berdasarkan data deret waktu dari Badan Pusat Statistik (BPS), selama Orde Baru laju pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai rata-rata 7 persen, atau selama pertengahan tahun pertama 1990-an, antara 7,3 hingga 8,2 persen. Pertumbuhan yang tinggi ini menhasilkan peningkatan pendapatan per kapita lebih dari 10 kali lipat dari 70 dollar AS tahun1969 ke 1.100 dollar AS tahun 1997. Namun, akibat krisis ekonomi 1997/1998, kegiatan ekonomi Indonesia, khususnya di sector formal, praktis terhenti. Krisis itu diawali oleh jatuhnya nilai mata uang bath  Thailand terhadap dollar AS, dan akhirnya berdampak pada nilai mata uang beberapa Negara lainnya di Asia terutama di Indonesia, peso Philipina, dan won Korea Selatan. Dari pertengahan 1997 ketika rupiah mulai terdepresiasi terhadap dollar AS, sehingga pertengahan 1998 nilai rupiah jatuh lebih dari 500 persen. Konsekuensinya, banyak perusahaan, terutam skala besar termasuk sejumlah konglomerat, yang selama er a Orde Baru sangat tergantung pada impor bahan baku dan atau barang setengah jadi seperti komponen dan banyak meminjam uang dari bank-bank komersial di luar negri, terpaksa mengurangi bahakn menghentikan sama sekali kegiatan produksi mereka karena biaya impor dalam rupiah menjadi sangat mahal dan jumlah rupiah yang diperlukan untuk membayar cicilan utang menjadi sangat besar. Akibatnya banyak perusahaan di dalam negri sejak merdeka, ekonomi Indonesia mengalami pertumbuhan negative hingga 13 persen pada tahun 1998.
Pada tahun 1999 ekonomi indoensia mulai pulih, dan dalam bebrapa tahun belakangan ini, Indonesia kembali mencapai derajat stabilitas ekonomi makro yang sehat; walaupun pada tahun 2005 laju pertumbuhan ekonomi hanya sekitar 5,5 persen, lebih rendah dari harapan pada saar itu, yakni 6,5 persen. Pengurangan subsidi pemerintah untuk bahan bakar minyak Oktober 3005 sebagai suatu konsekuensi logis dari meroketnya harga BBM di pasar dunia yang mencapai lebih dari 50 dollar AS per barrel mengakibatkan harga BBM di dalam negri meningkat lebih dari 100 persen. Hal ini memicu kenaikan inflansi domestik yang tinggi. Juga sebagi efek pengganda dari pemotongan subsidi BBM tersebut, pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya sekita 6 persen.
Tahun 2006, pertumbuha GDP yang hanya sekitar  5,1 persen pada triwulan pertama juga mencapai tingkat lebih rendah daripada 6 persen. Rendahnya pertumbuhan investasi yang hanya mencapai 0,8 persen merupakan penyebab utama tidak tercapainya angka pertumbuhan ekonomi yang di targetkan pemerintah, yakni diatas 6 persen. Pertumbuhan ekonomi pada tahun tersebut dimotori oleh pertumbuhan ekspor yang sepanjang tahun yang sama lebih di tunjang oleh membaikanya harga internasional beberapa komoditas ekspor dari sector pertanian danb sector pertambangan, bikan disebabkan oleh volume ekspor yang meningkat. Menurut laporan tahunan dari IMF tahun 2006, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2006 diprediksi lebih rendah  daripada harapan pemerintah, yakni hanya 5 persen dan akan tumbuh 6 persen tahun 2007.
Sebagai perbandingan lainnya, terutama untuk melihat kinerja ekonomi Indonesia selama Orde Baru secara relative, memaparkan data mengenai laju pertumbuhan PDB rill rata-rata per tahun di Indonesia dan di tiga NB besar lainnya, yakni India, Brazil, dan Cina, dan NB sebagai satu grup untuk periode 1970-2000. Dalam 30 tahun tersebut, pertumbuhan ekonomi Indonesia tercata 5,7 persen per tahun. Tingkat ini lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan semua NB, tetapi sangat rendah jika dibandingkan dengan laju pertumbuhan ekonomi Cina yang mencapai sekitar 7,1 persen. Untuk 10 tahun pertama, pertumbuhan eknomi India tercata paling rendah diantara keempat Negara tersebut, sedangkan pertumbuhan ekonomi Barzil paling tinggi, disusul oleh Indonesia. Namun, pada 10 tahun terakhir situasinya berubah : Cina menjadi unggul dengan laju pertumbuhan rata-rata sedikit di atas 10 persen, sedangkan akselerasi pertumbuhan ekonomi Indonesia melemah terus, dari 7,9 persen dalam decade 70-an ke 6,4 persen selama periode 80-an dan 4,3 persen dalam decade 90-an.

Dalam lintasan sejarah, pembangunan sebagi sebuah upaya penataan ekonomi sebuah Negara – bias di telusuru dalam kurun waktu yang lama. Bahakan, pemikiran,-pemikiran adam sith yang di susun sejak abad-18 masih di jadikan rujukan bagi pembanguna ekonomi saat ini, khususnya Negara-negara maju yang mengidentifikasi ekonominya sebagai mazhab kapitalis. Tetapi dalam penyelengaraannya, proyek pembangunan sempat terhenti akibat Perang Dunia II yang melantakan sebagian besar Negara, terutam Negara-negara eropa. Setelah Perang Dunia II itulah, eropa yang hancur lebur akibat perang, dengan sendirinya memerlukan pembangunan untuk menata kembalinya perekonomiannya. Instrument pembangunan ini adalah program bantuan besar dari Amerika Serikat, yakni Marshal Aid. Program ini memiliki tujuan ganda, untuk menjalankan ekonomi dunia dan menahan laju komunisme.
Tampak sejak awal gagasan pembangunan yang mulai marak di jalankan setelah Perang Dunia II itu memiliki dua tujuan penting, khususnya lewat program Marshal Aid. Pertama, pembangunan di pakau sebagai alat untuk menyebar tata ekonomia tunggal dunia, di mana model ini mendasarkan diri pada  mekanisme pasar dan liberalisasi perdagangan. Tata ekonomi tersebut di harapkan bias mengintergretasikan setiap Negara dalam sebuah ikatan perekonomian dan menimbulkan efisiensi alokasi sumberdaya pada level internasional. Kedua, pembanguna juga memiliki tujuan politis untuk menahan perluasan ide dan penerapan komunisme yang di anggap membahayakan kepentingan amerika serikat. Bagi Negara-negara penganjur kapitalisme, komunisme nerupakan virus jahat yang tidak saja bertentangan dengan nilai-nilai kapitalisme, tetapi juga berpotensi mematikan kebebasan individu, khususnya dalam mengerjakan aktivitas ekonomi dan politik. Realitas inilah yang pantas di catat untuk memahami peta pembangunan dunia yang berlangsung saat ini.

berikut data yang di ambil dari BPS mengenai pertumbuhan ekonomi di indonesia.
1. ekspor-impor bulanan
tahun 2010
sumber : BPS
2. Pertumbuhan Indeks Produksi Bulanan Industri Besar dan Sedang , 2003-2010

sumber : BPS





Pertumbuhan Ekonomi Pemerintahan

Tugas Minggu 4
Akibat ketidakstabilan politik di dalam luar negari dan pengelolaan ekonomi yang sangat buruk, pada dua decade pertama sejak kemerdekaan 1945 kondisi ekonomi dan social di Indonesia sangat buruk. Produksi dan investasi mengalami stagnasi, bahkan menurun drastic di bandingkan pada masa sebelum kemerdekaan, dan tingkat tahun 1938. Pada awal pemerintahan Oede Baru tahun 1996 yang dipimpin oleh Preseden Soeharto, rata-rat orang Indonesia berpenghasilan hanya sekita 50 dollar Amerika Serikat per tahun; sekitar 60 persen anak-anak Indonesia tidak dapat membaca dan menulis;  dan mendekati 65 persen jumlah populasi hidup dalam kemiskinan absolute.
Menhadapi kondisi yang sangat buruk ini, pada tahun – tahun awal Orde Baru, tiga langkah pendting langsung dilakukan oleh pemerintah, yakni stabilitas, rehabilisasi, dan rekonstruksi ekonomi. Selain tiga langkah tersebut, pemerintah juga mempunyai rencana pembangunan lima tahun (Repelita) yang dilaksanakan secara bertahap. Repelita ini dimulai tahun 1969 dengan Repelita pertama, dan membuat sejumlah kebijakan reformasi ekonomi yang krusial pada decade 70-an dan 80-an, termasuk liberalisasi investasi, neraca modal, perbankan, dan perdagangan eksternal. Berbeda dengan periode Orde Lama, pada Era Orde Baru, industry merupakan sector prioritas utama.
Selai itu, langkah lain yang dilakukan oleh Soeharto yang juga sangat menentukan keberhasilan Orde Baru dalam pembangunan ekonomi, paling tidak ditingkat makro adalah membuka kembali hubungan baik dengan pihak barat. Salah satu konkretnya adalah memulai mengalirnya sana dari luar negri ke Indonesia, tidak hanya dalam bentuk PMA, tetapi juga BLN yang sebagian besar berupa pinjaman lunak. Lahirlah suatu konsorsium Negara-negara donor yang dikenal dengan sebutan IGGI yang dipimpin ileh Negara Belanda yang kemudian berubah menjadi CGI pada awal decade 90-an di bawah koordinasi Bank Dunia.
Hasil konkret  langkah-langkah di atas adalah pertumbuhan ekonomi yang sangat pesat dan berlangsung lama tanpa terputus selama decade 80-an hingga 1997, sesaat sebelum krisis ekonomi muncil yang mencapai titik terburuknya tahun 1998. Berdasarkan data deret waktu dari Badan Pusat Statistik (BPS), selama Orde Baru laju pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai rata-rata 7 persen, atau selama pertengahan tahun pertama 1990-an, antara 7,3 hingga 8,2 persen. Pertumbuhan yang tinggi ini menhasilkan peningkatan pendapatan per kapita lebih dari 10 kali lipat dari 70 dollar AS tahun1969 ke 1.100 dollar AS tahun 1997. Namun, akibat krisis ekonomi 1997/1998, kegiatan ekonomi Indonesia, khususnya di sector formal, praktis terhenti. Krisis itu diawali oleh jatuhnya nilai mata uang bath  Thailand terhadap dollar AS, dan akhirnya berdampak pada nilai mata uang beberapa Negara lainnya di Asia terutama di Indonesia, peso Philipina, dan won Korea Selatan. Dari pertengahan 1997 ketika rupiah mulai terdepresiasi terhadap dollar AS, sehingga pertengahan 1998 nilai rupiah jatuh lebih dari 500 persen. Konsekuensinya, banyak perusahaan, terutam skala besar termasuk sejumlah konglomerat, yang selama er a Orde Baru sangat tergantung pada impor bahan baku dan atau barang setengah jadi seperti komponen dan banyak meminjam uang dari bank-bank komersial di luar negri, terpaksa mengurangi bahakn menghentikan sama sekali kegiatan produksi mereka karena biaya impor dalam rupiah menjadi sangat mahal dan jumlah rupiah yang diperlukan untuk membayar cicilan utang menjadi sangat besar. Akibatnya banyak perusahaan di dalam negri sejak merdeka, ekonomi Indonesia mengalami pertumbuhan negative hingga 13 persen pada tahun 1998.
Pada tahun 1999 ekonomi indoensia mulai pulih, dan dalam bebrapa tahun belakangan ini, Indonesia kembali mencapai derajat stabilitas ekonomi makro yang sehat; walaupun pada tahun 2005 laju pertumbuhan ekonomi hanya sekitar 5,5 persen, lebih rendah dari harapan pada saar itu, yakni 6,5 persen. Pengurangan subsidi pemerintah untuk bahan bakar minyak Oktober 3005 sebagai suatu konsekuensi logis dari meroketnya harga BBM di pasar dunia yang mencapai lebih dari 50 dollar AS per barrel mengakibatkan harga BBM di dalam negri meningkat lebih dari 100 persen. Hal ini memicu kenaikan inflansi domestik yang tinggi. Juga sebagi efek pengganda dari pemotongan subsidi BBM tersebut, pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya sekita 6 persen.
Tahun 2006, pertumbuha GDP yang hanya sekitar  5,1 persen pada triwulan pertama juga mencapai tingkat lebih rendah daripada 6 persen. Rendahnya pertumbuhan investasi yang hanya mencapai 0,8 persen merupakan penyebab utama tidak tercapainya angka pertumbuhan ekonomi yang di targetkan pemerintah, yakni diatas 6 persen. Pertumbuhan ekonomi pada tahun tersebut dimotori oleh pertumbuhan ekspor yang sepanjang tahun yang sama lebih di tunjang oleh membaikanya harga internasional beberapa komoditas ekspor dari sector pertanian danb sector pertambangan, bikan disebabkan oleh volume ekspor yang meningkat. Menurut laporan tahunan dari IMF tahun 2006, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2006 diprediksi lebih rendah  daripada harapan pemerintah, yakni hanya 5 persen dan akan tumbuh 6 persen tahun 2007.
Sebagai perbandingan lainnya, terutama untuk melihat kinerja ekonomi Indonesia selama Orde Baru secara relative, memaparkan data mengenai laju pertumbuhan PDB rill rata-rata per tahun di Indonesia dan di tiga NB besar lainnya, yakni India, Brazil, dan Cina, dan NB sebagai satu grup untuk periode 1970-2000. Dalam 30 tahun tersebut, pertumbuhan ekonomi Indonesia tercata 5,7 persen per tahun. Tingkat ini lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan semua NB, tetapi sangat rendah jika dibandingkan dengan laju pertumbuhan ekonomi Cina yang mencapai sekitar 7,1 persen. Untuk 10 tahun pertama, pertumbuhan eknomi India tercata paling rendah diantara keempat Negara tersebut, sedangkan pertumbuhan ekonomi Barzil paling tinggi, disusul oleh Indonesia. Namun, pada 10 tahun terakhir situasinya berubah : Cina menjadi unggul dengan laju pertumbuhan rata-rata sedikit di atas 10 persen, sedangkan akselerasi pertumbuhan ekonomi Indonesia melemah terus, dari 7,9 persen dalam decade 70-an ke 6,4 persen selama periode 80-an dan 4,3 persen dalam decade 90-an.

Dalam lintasan sejarah, pembangunan sebagi sebuah upaya penataan ekonomi sebuah Negara – bias di telusuru dalam kurun waktu yang lama. Bahakan, pemikiran,-pemikiran adam sith yang di susun sejak abad-18 masih di jadikan rujukan bagi pembanguna ekonomi saat ini, khususnya Negara-negara maju yang mengidentifikasi ekonominya sebagai mazhab kapitalis. Tetapi dalam penyelengaraannya, proyek pembangunan sempat terhenti akibat Perang Dunia II yang melantakan sebagian besar Negara, terutam Negara-negara eropa. Setelah Perang Dunia II itulah, eropa yang hancur lebur akibat perang, dengan sendirinya memerlukan pembangunan untuk menata kembalinya perekonomiannya. Instrument pembangunan ini adalah program bantuan besar dari Amerika Serikat, yakni Marshal Aid. Program ini memiliki tujuan ganda, untuk menjalankan ekonomi dunia dan menahan laju komunisme.
Tampak sejak awal gagasan pembangunan yang mulai marak di jalankan setelah Perang Dunia II itu memiliki dua tujuan penting, khususnya lewat program Marshal Aid. Pertama, pembangunan di pakau sebagai alat untuk menyebar tata ekonomia tunggal dunia, di mana model ini mendasarkan diri pada  mekanisme pasar dan liberalisasi perdagangan. Tata ekonomi tersebut di harapkan bias mengintergretasikan setiap Negara dalam sebuah ikatan perekonomian dan menimbulkan efisiensi alokasi sumberdaya pada level internasional. Kedua, pembanguna juga memiliki tujuan politis untuk menahan perluasan ide dan penerapan komunisme yang di anggap membahayakan kepentingan amerika serikat. Bagi Negara-negara penganjur kapitalisme, komunisme nerupakan virus jahat yang tidak saja bertentangan dengan nilai-nilai kapitalisme, tetapi juga berpotensi mematikan kebebasan individu, khususnya dalam mengerjakan aktivitas ekonomi dan politik. Realitas inilah yang pantas di catat untuk memahami peta pembangunan dunia yang berlangsung saat ini.

berikut data yang di ambil dari BPS mengenai pertumbuhan ekonomi di indonesia.
1. ekspor-impor bulanan
tahun 2010
sumber : BPS
2. Pertumbuhan Indeks Produksi Bulanan Industri Besar dan Sedang , 2003-2010

sumber : BPS
3. Uang Beredar (Miliar Rupiah) 2003-2011



sumber : BPS

Ekonomi Indonesia Pemerintahan Indonesia Bersatu

Setelah selama satu dekade dianggap sebagai "orang sakit dari Asia Tenggara", Indonesia saat ini sudah dapat melepaskan imej tersebut dan bahkan dianggap sebagai role model atau anutan di kawasan regional.

Demokrasi telah berkembang dengan pesat dan perekonomian Indonesia berhasil mengatasi krisis finansial global dengan lebih baik dibandingkan negara-negara ASEAN lain. Tiga presiden yang berkuasa setelah lengsernya Soeharto tidak banyak berhasil dalam mengatasi masalah-masalah yang telah mengakar di negara ini. Kekerasan, kekacauan politik, dan stagnasi perekonomian adalah hal-hal yang de rigueur dalam periode tersebut.

Namun pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) berhasil mendobrak dan menjadi katarsis terhadap kebuntuan tersebut. Korupsi dan kemiskinan tetap menjadi masalah di Indonesia. Namun setelah beberapa tahun berada dalam kepemimpinan nasional yang tidak menentu, SBY beserta Wakil Presiden Jusuf Kalla telah berhasil menciptakan kestabilan politik dan ekonomi di Indonesia.

Walaupun dihadang berbagai bencana yang menimpa sejak SBY dan JK menjabat pada 2004- tsunami, epidemi flu burung dan polio, serta melambungnya harga minyak dunia-, Indonesia saat ini adalah negara yang memiliki kestabilan struktural yang jauh lebih baik. Indonesia adalah satu-satunya negara di kawasan regional yang berhasil mengatasi dan mengalahkan mitos "demokrasi yang bermasalah".

Indonesia telah berhasil melampaui masa-masa yang sulit di mana negara ini pernah tersandera oleh anarkisme yang terjadi di seluruh negara kepulauan ini. Dapat dikatakan bahwa "genie of violence" sudah berada di dalam botolnya lagi. Kekhawatiran akan terpecahnya negara ini adalah suatu hal yang usang. Tidak ada bukti akan adanya kekuatan sentrifugal yang akan memicu "Balkanisasi" atau pecahnya Indonesia seperti yang terjadi di negara-negara Balkan.

Tidak ada satu pun serangan teroris di Indonesia sejak 2005. Pencapaian perekonomian oleh pemerintahan SBY sendiri juga tidak kalah signifikan. Pada saat negara-negara lain mengalami "musim dingin ekonomi", Indonesia sepertinya bisa mengatasi badai ini dengan lebih baik. Namun, turunnya bursa saham dan melemahnya mata uang rupiah menunjukkan bahwa Indonesia memang tidak bisa menghindar sepenuhnya dari krisis keuangan dunia.

Perekonomian Indonesia memang tumbuh melambat seperti juga yang terjadi di negara-negara lain. Ekonomi bertumbuh sebesar 5,2% pada kuartal IV/2008 dibandingkan kuartal yang sama tahun sebelumnya akibat menurunnya permintaan dunia terhadap produk-produk komoditas. Akibatnya, perekonomian Indonesia bertumbuh sebesar 6,1% pada 2008 dibandingkan dengan 6,3% pada 2007.

Pemerintah memprediksi bahwa pertumbuhan ekonomi di tahun 2009 akan lebih rendah dari tahun sebelumnya, berkisar antara 4,0% sampai 4,5%. Bank Indonesia memprediksi pertumbuhan ekonomi sekitar 4,0% atau bahkan lebih rendah apabila pelemahan ekonomi global lebih besar dari perkiraan sebelumnya. Namun, pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun ini akan jauh lebih baik dibandingkan dengan negara-negara lain di Asia.

Salah satu penyebab utama kesuksesan perekonomian Indonesia adalah efektifnya kebijakan pemerintah yang berfokus pada disiplin fiskal yang tinggi dan pengurangan utang negara. Saat ini, Indonesia memiliki perekonomian yang kuat dengan cadangan devisa sebesar USD58 miliar per akhir Mei 2009 dan utang luar negeri yang lebih kecil dari 35% PDB-dibandingkan dengan 77% dari PDB di tahun 2001.

Ini adalah salah satu rasio utang yang terendah di negara-negara ASEAN kecuali dibandingkan Singapura yang tidak memiliki utang luar negeri. Dunia pun mulai memperhatikan perkembangan ini. Di dalam publikasinya tahun lalu, The Australian Strategic Policy Institute menyatakan bahwa dunia perlu mengubah pola pandang mereka terhadap Indonesia dan mulai memperlakukan Indonesia sebagai negara yang "normal" sebagaimana negara-negara berkembang lain seperti Brasil, India, dan Meksiko.*** 

Perkembangan yang terjadi dalam lima tahun terakhir membawa perubahan yang signifikan terhadap persepsi dunia mengenai Indonesia. Namun masalah-masalah besar lain masih tetap ada. Pertama, pertumbuhan makroekonomi yang pesat belum menyentuh seluruh lapisan masyarakat secara menyeluruh. Walaupun Jakarta identik dengan vitalitas ekonominya yang tinggi dan kota-kota besar lain di Indonesia memiliki pertumbuhan ekonomi yang pesat, masih banyak warga Indonesia yang hidup di bawah garis kemiskinan.

Sekitar 150 juta penduduk Indonesia tidak memiliki akses yang baik untuk air bersih. Indonesia juga masih memiliki tingkat kematian ibu dan bayi yang terburuk di kawasan Asia. Kedua, UU Ketenagakerjaan yang ada saat ini memiliki implikasi terhadap berkurangnya daya saing Indonesia sebagai salah satu perekonomian padat karya di Asia.

Demikian juga mengenai UU Agraria dan peraturan pertanahan yang membuat investasi di bidang infrastruktur menjadi suatu proses yang berbelit-belit. Ketiga, korupsi dari pihak yudisial mengakibatkan lemahnya ikatan hukum dalam suatu kontrak. Memang, di pihak lain Komite Pemberantasan Korupsi (KPK) telah banyak melakukan investigasi kasus-kasus korupsi besar yang menjadi berita utama di berbagai media.

Adalah suatu kenyataan bahwa Indonesia masih terpuruk sebagai salah satu negara yang paling korup di dunia. Berdasarkan penelitian Transparency International dalam publikasinya yang berjudul 2009 Global Corruption Barometer, Indonesia dianggap sebagai negara paling korup di Asia dengan lembaga legislatif sebagai institusi publik yang paling korup, disusul oleh lembaga yudisial dan polisi.

Kesimpulan yang dapat ditarik adalah bahwa Indonesia masih memerlukan banyak perbaikan. Namun apa yang telah dicapai selama ini merupakan hasil dari visi dan perencanaan pemerintahan SBY. Dapat dibayangkan hal-hal lain yang akan terjadi dalam pemerintahan yang akan berjalan untuk lima tahun ke depan lagi.



Berbagai fenomena terkait dengan kebijakan Pemerintahan SBY-Boediono mendapat penyikapan  oleh Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Seluruh Indoneia (SI). Mereka menuding pemerintahan sekarang  sebagai antek imperialisme. BEM SI mendesak agar SBY–Boediono turun dari tampuk kekuasaannya. Penegasan itu disampaikan saat menggelar aksi demonstrasi di depan monumen Bajra Sandhi, Renon, Denpasar, Rabu (21/7) kemarin.
Fiqi ahmad, koordinator aksi, mengatakan, kenaikan TDL menyebabkan naiknya bahan-bahan pokok. Rata-rata, kenaikan tersebut sebesar 100 persen. Olehnya dalam Rakernas  BEM SI yang sudah digelar selama tiga hari, menghasilkan kalau mereka akan menjadi oposisi permanen, dan menggelar aksi sampai SBY–Boediono turun dari kekuasaannya. “SBY gagal mensejahterakan rakyat. Kami menuntut SBY–Boediono mundur atau kami yang akan menurunkan. Tanggal 20 Oktober, tepat satu tahun pemerintahan SBY – Boediono, kami akan menggelar aksi besar-besaran, dan BEM SI akan mengepung istana,” tegas Fiqi.
Sementara itu, Presiden BEM Unud, Aji Prakoso, mengatakan, pemerintah saat ini bukan representasi dari rakyat, tetapi representasi dari kaum imperialis. Program yang digelontorkan oleh rezim pemenang Pemilu 2009 lalu, adalah program-program yang anti rakyat. “Salah satunya adalah kenaikan TDL. SBY–Boediono belum berpihak pada rakyat. Mereka adalah antek Amerika,” papar Aji.
Di bagian lain, Ketua BEM UGM, Yogyakarta, Aza L. Munardi, dalam orasinya mengatakan, SBY–Boediono telah membohongi rakyat. Dalam berbagai kesempatan, Presiden mengatakan kalau perekonomian Indonesia mengalami peningkatan yang baik. “Padahal, hutang Indonesia hingga hari ini terus membengkak hingga mencapai Rp2700 triliun. Hal ini sebagai bentuk kegagalan SBY–Boediono menyejahterakan rakyat. Lebih baik mundur atau kami yang akan turunkan paksa,” gertaknya.
Dalam kesempatan itu, demonstran yang berjumlah puluhan orang gabungan dari berbagai universitas di Indonesia tersebut, melakukan aksi teatrikal dengan membawa tabung gas, sebagai simbol jeritan suara rakyat atas banyaknya korban meninggal karena meledaknya tabung gas serta simbol dari kenaikan tarif TDL.
Hampir dua jam berorasi, akhirnya BEM SI menutup aksi demonstrasinya dengan pembacaan 6 tuntutan kepada pemerintah, pertama pemerintah harus bertanggungjawab atas berbagai ledakan tabung gas di berbagai daerah, kedua menolak kenaikan tarif TDL dan meminta pemerintah menjamin ketersediaan energi nasional, ketiga wujudkan jaminan kesejahteraan bagi rakyat, dengan menuntaskan carut marut sistem pendidikan, ke empat jaminan sosial nasional dan APBN yang pro rakyat, ke lima menagih janji SBY dalam hal komitmen pemberantasa korupsi dan ke enam menuntut tanggungjawab pemerintah terhadap dampak ACFTA yang menyengsarakan rakyat.