Nendyan Saimima

A little girl. A Student. A Woman

Rabu, 02 Maret 2011

MONETER

Implikasi uang ketat

Pada tahun 1990, otoritas moneter kembali melakukan kebijakan uang  ketat, melalui “gebrakan sumarlin II”. Berbeda dengan “gebrakan Sumarlin II” yang di maksud untuk meredam spekulasi pembelian valas, gebrakan jilid II ini di arahkan untuk meredam inflansi. Perekonnomian tahun 1990 sempat mengalami overheated, yang di tandai dengan investasi tingggi dan inflansi yang juga tinggi. Inflansi yang mengarah ke posisi dua digit inilah yang di pengari dengan kebijakan uang ketat.

Rupanya, kebijakan uang ketet sedang menjadi semacam trend di mana-mana. Entah secara kebetulan atau tidak, kebijakan ini tidak saja di berlakukan di Indonesia, tetapi juga di banyak Negara maju. Tentu hal ini di tempuh dengan tujuan berbeda, yang di sesuaikan dengan kepentingan masing-masing. Meski, esensinya bisa di katakana sama saja, yaitu sebagai upaya untuk menekan laju inflansi.
                Sebagai ilustras, di amerika serikat misalny, yak kurang dari chairman federal reserve alan greenspan sempat menolak kebijakan moneter longgar, sebelum kemudian pemerintah federal memutuskan untuk mengurangi deficit anggaran. Alkhirnya, di amerika berlaku tingkat bunga yang lebih rendah di bandingkan di Negara-negara maju.





Ekspansi vs Kontraksi Moneter





Di Indonesia sendiri, kebijakan uang ketat yang di tempuh otoritas moneter, termasuk hal yang hampir tak pernah di lakukan sejak deregulasi perbankan 1983. Setelah momentum penting dalam perekonomian Indonesia itu, maka rah kebijakan moneter cendrungekspansif daripada kontratif. Kecendrungan ini logis saja, mengingat kepentingan terhadap pertumbuhan ekonomi nasional. Sejak deregulasi 1983, bank-bank di beri kebebasan untuk menentukan suku bungannya sendiri, di sesuaikan dengan kemampuan dan kepentingan masing-masing. Langkah ini di tempuh agar sector perbankan beroperasi secara lebih efisien, dan sekaligus memberi dorongan pada pertumbuhan di sector rill.
                Bukan hanya deregulasi 1983 saja yang mencerminkan kebijakan moneter yang cendrung ekspansif. Kemudahan pendirian bank-bank yang diintroduksikan dengan deregulasi lima tahun sesudahnya  (pakto 1988), juga merupakan upaya untuk memobilisasi dana masyarakat secara lebih besar dan cepat. Kalaupun ada sedikit kebijakan moneter yang cendrung bersifat kontaktif, itu terjadi di pertengahan 1987, yang di kenal dengan gebrakansumarlin. Kebijakn ini, terbukti ampuh untuk menghentikan spekulasi pembelian dollar. Fasilitas dana murah dari bank Indonesia yang di pegang bank-bank umu, di duga merupakan alat yang empuk untuk berspekulasi valuta asing, di tengah-tengah gencarnya desas-desus devaluasi.

Kebijakan “Koreksi”

Berbeda dengan keadaan tiga tahun sebelumny, absorpsi rupiah yang di lakukan pada tahun 1990 tidak di maksudkan untuk menghentikan spekulasi valuta asing. Cadangan devisa berada pada posisi sekitar US$ 5,5 milyar, dan neraca perdagangan pun tetap mengalami surplus, apalagi belakangan muncul rezeki minyak. Artinya, jumlah dollar yang kita kuasai akan semakin bear, sehingga kekhawatiran bahwa cadangan devisa itu akan habis di borong, menjadi tidak beralasan. Adalah mustahil, devisa yang sebagian bank besar terutama milik pemerintah tidak melakukannya. Oleh karena itu, kalau di Jakarta sempat terdengar desas-desus devaluasi, itu benar-benar tidak logis.

Antipasi Dampak Negatif

Konsekuensi negative dari kebijakan uang ketat yang kini di risaukan adalah, jika dalam jangka panjang hal itu menyebabkan tingginya suku bunga, itu jelas. Dan bahwa suku bunga yang tinggi tidak merangsang invenstasi, itu juga merupakan dalil ekonomi yang valid dan sudah teruji. Namun, masalahnya kemudian adalah, sampai seberapa lama kebijakan uang ketat itu akan di tempuh pemerintah. Lalu, seberapa besar tingakat bungan akan naik. Dan bagaimana pula respons iklim investasi terhadap perubahan tingkat bunga.
                Pemerintah mengindikasikan, bahwa kebijakan uang ketat akan berlangsung “sampai tahun 1991”, entah kapan persisnya. Mengenai kenaikan tingkat.








Tidak ada komentar:

Posting Komentar