Hampir sama dengan Irak, Libya adalah negeri Muslim yang sering dituduh oleh Barat, terutama AS, sebagai negara yang termasuk ke dalam “Poros Setan” dan “pendukung teroris”. Kalau Saddam Hussein di Irak dijadikan tokoh bulan-bulanan oleh Barat, pemimpin Libya, Kolonel Muammar Khadafi pun nasibnya tak jauh beda. Kedua pemimpin ini sering digambarkan sebagai monster yang menakutkan. Kedua negara juga memiliki kemiripan, yakni memiliki sumber alam minyak yang cukup besar. Meskipun tidak sebesar Irak, untuk negara-negara Afrika, Libya memiliki cadangan minyak yang besar. Bukan kebetulan, kalau kedua negara ini pernah sama-sama diserang oleh AS dan diembargo atas keputusan resolusi PBB yang disponsori oleh AS. Kedua orang ini pun, secara keliru, sering dikaitkan dengan Islam.
Upaya mempersetankan (demonologi) Libya, terutama oleh AS, telah dimulai ketika Khadafi menumbangkan rezim monarki Raja Kamal Idris tahun 1969. Raja ini merupakan boneka AS dalam pemerintahan Libya. Saat memerintah, dia mengizinkan negara adidaya itu untuk mengontrol ekonomi dan politik negara tersebut. Sebaliknya, Khadafi diduga keras merupakan agen Inggris (ingat, bahwa Khadafi merupakan lulusan pendidikan Inggris) yang ingin menghilangkan pengaruh AS di Libya. Karena itu, kudeta yang dilakukan oleh Khadafi diduga didukung oleh Inggris. Kejengkelan AS semakin menjadi-jadi saat Libya membatalkan berbagai perjanjian dengan AS dan membubarkan fasilitas militer asing di Libya. Apalagi, Muammar Khadafi sering menyuarakan sikap anti-AS serta membantu kelompok-kelompok yang menentang kepentingan AS. Contohnya adalah dukungan Libya terhadap Nur Misuari di Filipina dan GAM di Aceh. Namun demikian, melihat persaingan Inggris dan AS untuk menjadi adidaya dunia, dukungan-dukungan kepada kelompok tersebut bisa menjadi alat bagi Inggris untuk menanamkan pengaruhnya di daerah konflik tersebut, antara lain lewat Khadafi.
Upaya ‘setanisasi’ Libya pun terus berlanjut. Libya dituduh berada di balik Tragedi Ledakan Pesawat Lockerbie. AS, Inggris, dan Prancis pada 21 Januari 1992 mendesak Dewan Keamanan PBB untuk mengesahkan Resolusi 731 yang menuntut agar Libya mau menyerahkan para tersangka. Dua warga Libya, Lamen Khalifa Fhimah dan Abdel Basset Ali al–Megrani, kemudian dituduh sebagai tersangka pelaku peledakan Pesawat Pan Am tahun 1988 di atas Lockerbie. Karena menolak, PBB kemudian menjatuhkan resolusi yang mengembargo negeri ini.
Sebelumnya, pada masa pemerintahan Ronald Reagen, AS menuduh Libya terlibat dalam pengeboman sebuah diskotik di Berlin. Saat itu, seorang pelayan yang berwarga negara AS terbunuh. Dengan alasan ini, AS melancarkan serangan udara atas dua kota utama Libya, Tripoli dan Benghazi. Serangan tanggal 15 April 1986 ini telah menyebabkan terbunuhnya 400 orang sipil; 104 di antaranya anak-anak, 85 wanita, 33 orang cacat, dan 41 orang tua. Padahal, keterlibatan Libya dalam pengeboman itu tidak pernah terbukti. Pengebomnya ternyata memiliki hubungan dengan koneksi Syiria yang kemudian ditahan dan mengakui perbuatannya. Apakah AS merasa bersalah dan kemudian meminta maaf? Tentu saja tidak!
Setanisasi Libya dan Khadafi tersebut dalam media massa ataupun pernyataan pemerintah Barat sering dikaitkan dengan Islam. Ada kesan seolah-olah Khadafi adalah pempimpin Islam dan Libya adalah negara yang didasarkan pada Islam, paling tidak, Libya sering disebut sebagai negara sosialis-Islam. Tentu saja kemudian, setanisasi terhadap Libya dan Khadafi berujung pada penjelek-jelekan Islam. Apalagi, secara keliru sering digambarkan bahwa Khadafi memperjuangkan syariat Islam. Ujung-ujungnya kemudian adalah penjelekan terhadap syariat Islam. Lalu, benarkah Khadafi merupakan cerminan dari pemimpin Islam?
Latar Belakang dan Sejarah
Wilayah Libya, sepanjang sejarahnya, banyak mengalami masa pendudukan dari luar: Phoenician, Carthaginian, Romawi, Yunani, Vandals, Byzantines. Sementara itu, Islam masuk ke Libya lewat penaklukan tentara Islam dari Arab pada abad ke-7 M. Islam kemudian diterima dengan sukarela oleh masyarakat Libya, bahkan mayoritas rakyat Libya beragama Islam dan mengadopsi bahasa Arab sebagai bahasa sehari-hari rakyat Libya. Sampai abad ke-16 Libya masih merupakan bagian dari Khilafah Ustmaniyah. Tahun 1911, penjajah Itali masuk ke Libya dan menjadikannya sebagai salah satu daerah koloninya.
Pada tahun 1943, Itali mengadopsi nama Libya (nama yang digunakan oleh orang Yunani untuk menyebut daerah Afrika Utara, kecuali Inggris), sebagai nama resmi daerah koloninya. Wilayah Libya meliputi Provinsi Cyrenaica, Tripolitania, dan Fezzan. Raja Idris, pemimpin daerah Cyrenaica, memimpin perlawanan rakyat Libya terhadap penjajah Itali sepanjang Perang Dunia I dan II.
Dari tahun 1943 sampai 1951, Tripolitania dan Cyrenaica berada di bawah jajahan Inggris, sementara Fezzan berada di bawah pengontrolan penjajah Prancis. Tahun 1944, Raja Idris kembali dari pengasingannya di Kairo, Mesir, dan kembali di Cyrenaica. Di bawah perjanjian damai dengan Sekutu, Itali menarik diri dari Libya.
Pada tanggal 21 November 1949, Sidang Umum PBB mengeluarkan resolusi yang mengumumkan Libya harus menjadi negara merdeka sebelum tanggal 1 Januari 1952. Raja Idris saat itu mewakili Libya dalam negoisasi PBB. Ketika Libya merdeka tanggal 24 Desember 1951, Libya merupakan negara pertama di dunia yang merdeka di bawah desakan PBB. Libya memproklamasikan diri sebagai negara monarki konstitusional di bawah pimpinan Raja Idris.
Berkat penemuan sumber minyak tahun 1959, Libya menjadi negara kaya di dunia dilihat dari perkapita GDP-nya. Padahal sebelumnya, Libya merupakan negara miskin. Sebelumnya, dalam bidang ekonomi, Libya mengandalkan sektor pertanian seperti jelai (makanan rakyat), kurma, zaitun, dan buah-buahanan peras. Meskipun banyak mengalami kerugian akibat embargo yang diterapkan PBB, ekonomi Libya relatif tetap stabil. Hal ini karena Libya masih bisa mempertahankan volume ekspor minyaknya sekitar 1,5 juta barel perhari. Minyak merupakan 90 % sumber devisa negara ini. Tentu saja, minyak Libya mengundang perusahan-perusahan kapitalis yang haus minyak.
Leo Drollas, analisis minyak dari Centre for Global Energy Studies (CGES) di London mengatakan, bahwa Libya mempunyai cadangan 30 miliar barel, 17 miliar barel lebih banyak dari cadangan di Negeria dan 24 miliar barel lebih banyak daripada cadangan di Cina.
Raja Idris memerintah Libya sampai tanggal 1 September 1969 lewat kudeta militer. Rezim baru Libya dipimpin oleh Dewan Komando Revolusi yang membubarkan sistem monarki dan memproklamasikan Negara Republik Arab yang baru. Kolonel Muammar Khadafi menjadi pimpinan Dewan Komando Revolusi yang secara defakto sekaligus sebagai pempimpin negara Libya.
Lewat Dewan Komando Revolusi ini, terjadilah perubahan arah negara Libya. Dengan moto, “Kebebasan, Sosialisme, dan Persatuan,” Libya bersemangat untuk melepaskan diri dari keterbelakangan, mengambil peran aktif dalam kasus Palestina, mempromosikan persatuan Arab, serta menekankan kebijakan domestik yang berdasarkan kesejahteraan sosial, non-eksploitasi, dan pendistribusian kesejahteraan yang sama. Saat itu juga, pemerintah baru ini menuntut pengunduran diri seluruh instalasi militer asing di Libya. Instalasi militer Inggris di Tobruk dan El Adem ditutup pada Maret 1970. Demikian juga fasilitas militer AS di Pangkalan Udara Wheelus dekat Tripoli, ditutup Juni 1970. Pada bulan Juli, pemerintah Libya mengusir ratusan warga Itali serta menutup perpustakaan dan pusat-pusat budaya asing di Libya.
Bertahun-tahun sejak revolusi tersebut, Libya mengklaim dirinya sebagai pemimpin Arab dan Afrika serta berusaha berperan dalam berbagai organisasi internasional. Untuk menunjukkan aspirasinya terhadap keinginan rakyat, kedutaan besar Libya diganti nama menjadi biro rakyat. Biro-biro rakyat, demikian juga lembaga-lembaga sosial, bisnis, dan agama dibuat untuk ekspor “revolusi”-nya Khadafi.
Sejak mengambil-alih kekuasaan pada 1969 lewat kudeta militer, Kolonel Muammar Khadafi telah membentuk sistem politiknya sendiri, yang diklaimnya sebagai gabungan dari sosialisme dan Islam, yang disebut oleh Khadafi sebagai Teori Internasional Ketiga (The Third International Theory). Khadafi membentuk dirinya sebagai pemimpin Revolusi. Selama tahun 1970-an sampai 80-an, dia menggunakan dana minyak untuk mempromosikan ideologinya keluar Libya. Dia juga banyak dituduh membantu tindakan-tindakan terorisme dan subversi di luar negeri. Dukungan Libya terhadap teroris berkurang setelah mendapat sanksi PBB tahun 1992 yang kemudian dibekukan pada April 1999.
Karena kegagalan nasionalisme Arab, Khadafi kemudian mengubah nama negaranya menjadi Great Socialist People’s Libyan Arab Jamahariya atau al-Jumahariyah al-‘Arabiyyah al-Libiyah as-Shabiyah al-Ishtirakiyyah al-Uzma. Khadafi mengklaim negaranya sebagai Negara Jamahariya (Negara Rakyat). Akan tetapi, ini hanya secara teori, yang menyatakan diperintah oleh rakyat lewat dewan lokal. Faktanya, Libya adalah negara diktator militer.
Khadafi dan Gerakan Islam
Khadafi selama ini senantiasa memberangus aktivitas keislamanan yang mengancamnya dengan berbagai cara; antara lain lewat eksekusi, penghancuran rumah, dan hukuman massal. Dia sendiri memiliki hari istimewa untuk menggantung mahasiswa yang dianggapnya melawan dirinya di dalam kampus, yakni setiap tanggal 7 bulan April setiap tahunnya.
Anggapan bahwa Khadafi merupakan cerminan perlawanan ideologi Islam jelas sangat keliru. Khadafi sesungguhnya tidak lebih daripada penganut ideologi sosialisme yang tampak jelas dalam “kitab suci”-nya, Kitab Hijau. Namun demikian, sama seperti pemimpin-pemimpin sosialis Arab lainnya, Khadafi memanipulasi Islam untuk mendapat dukungan dari rakyat Libya yang mayoritas Muslim. Memang, banyak retorika-retorika Khadafi yang sepertinya sejalan dengan Islam. Namun demikian, Buku Hijau-nya membuktikan bahwa dia tidak lebih daripada seorang sosialis. Dia berusaha menggabung-gabungkan ide Islam dengan sosialisme, namun hasilnya adalah tetap saja ide sosialisme yang bertentangan dengan Islam. Bahkan, Khadafi banyak melakukan pembantaian terhadap aktivis Islam yang dia anggap mengancam kedudukannya.
Pada awalnya, sangat kentara Khadafi ingin mendapat dukungan dari umat Islam dan para ulama. Tampak dari kata-katanya yang cukup populer pada saat itu, “Wahai rakyat, koyak-koyaklah semua buku impor yang tidak sesuai dengan (nilai-nilai) peninggalan Arab dan Islam, sosialisme, dan kemajuan.”
Untuk menampakkan citra Islamnya, Khadafi memberangus seluruh peninggalan kolonial Kristen Eropa di Libya; gereja-gereja ditutup, aktivitas misionaris dilarang, serta basis-basis militer Amerika dan Inggris ditutup. Khadafi juga menerapkan sebagian hukum Islam seperti melarang meminum alkohol dan penutupan kelab-kelab malam.
Pemikiran sosialisme lebih tampak pada saat dia menerbitkan Buku Hijau. Buku ini tidak jauh berbeda dengan Buku Merah-nya Mao Tse-tung. Buku ini sendiri terdiri dari tiga jilid: The Solution to The Problem of Democracy (1975); The Solution of The Economic Problem: Socialism (1977); dan Social Basis of The Third International Theory (1979). Khadafi kemudian menjadikan buku ini sebagai bacaan wajib bagi rakyat Libya yang diajarkan di sekolah-sekolah. Khadafi sering mengatakan bahwa bukunya itu didasarkan pada nilai-nilai Islam. Bahkan, dia menyatakan bahwa kaum Muslim harus berpegang teguh pada al-Quran. Padahal, bukunya itu justru memberikan pemecahan yang tidak sesuai dengan Islam. Dalam politik, ia memberikan solusi demokrasi, padahal ide demokrasi yang mendasarkan diri pada kedaulatan rakyat bertentangan dengan Islam. Khadafi sendiri, dalam praktiknya, adalah seorang diktator. Sementara itu, dalam ekonomi, jusru dia memberikan solusi sosialisme yang bertentangan dengan Islam.
Ide-ide ganjilnya semakin tampak. Untuk membenarkan penafsirannya terhadap Islam, dia mengatakan bahwa setiap orang berhak untuk menafsirkan Islam. Atas dasar ini, secara bebas (liberal) dia menafsirkan Islam seenaknya. Khadafi membatasi al-Quran hanya pada masalah individual, sementara dalam masalah sosial, ‘kitab suci’-nya adalah Buku Hijau. Dia juga menyampingkan hukum-hukum syariat yang dikatakannya sebagai ide-ide tradisional. Khadafi juga menolak keotentikan dan kekuatan yang mengikat dari Hadis Nabi saw., mengubah penanggalan Islam, menyatakan berhaji ke Makkah tidak wajib, dan menyamakan zakat dengan jaminan sosial. Zakat kemudian dia anggap bisa diubah-ubah dan bervariasi. Dia juga mengharamkan kepemilikan individu.
Tidak berhenti sampai di sana, Khadafi membentuk komite-komite rakyat untuk mengambil-alih masjid-masjid yang dia katakan tradisionalis. Tidak sedikit ulama ataupun pejuang Islam yang menentang ide-idenya kemudian dia bunuh dan dipenjarakan. Jangankan dengan Islam, dengan Buku Hijau-nya saja, yang mengatakan pengakuan terhadap kebebasan beragama dan demokrasi, Khadafi tidak menjalankannya. Ide kufur Khadafi yang lain yang dia lontarkan dalam pertemuan Arab (Arab Summit) pada April 2001 adalah meremehkan perjuangan al-Quds dan al-Aqsa yang penting. Pengarang Buku Hijau ini mencela negara-negara Arab yang terobsesi untuk membebaskan al-Quds dari penjajahan Israel. Dia berkata, “Kalian memecahkan masalah ini atau kalian tidak, itu hanyalah sebuah masjid dan saya bisa berdoa di mana pun. Tidaklah begitu penting di mana kita tinggal…Itu (al-Quds) juga merupakan tempat suci bagi Yahudi.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar