Meningkatnya tensi krisis di negara – negara penghasil minyak di Timur Tengah sangat positif bagi penguatan dolar terhadap mata uang Asia karena dianggap lebih beresiko pada saat ini.
Pada transaksi kemarin rupiah ditutup di level 8.879 per dolar AS, atau melemah 22 poin (0,25 persen) dari penutupan sehari sebelumnya.
Analis ekonomi dari PT Samuel Sekuritas, Lana Soelistianingsih mengemukakan meningkatnya kecemasan para pelaku pasar terhadap gejolak politik di Timur Tengah dan Afrika Utara membuat mata uang lokal melemah dan gagal melanjutkan penguatan.
“Adanya ketidakpastian di kawasan Timur Tengah menguntungakan dolar, karena para investor lebih memilih untuk memegang uang tunai dalam bentuk dolar AS yang dianggap lebih aman disaat seperti ini,” kata Lana.
Kekhawatiran tidak hanya terjadi dipasar uang tetapi juga dibursa saham global termasuk bursa Jakarta dimana indeks harga saham gabungan (IHSG) turun lebih dari 46 poin ke level 3.451.
Meningkatnya ketegangan di Timur Tengah menyulut harga minyak jenis Brent naik diatas US$ 105 per barel dan minyak mentah WTI berada di US$ 93 per barel.
Lana memprediksikan rupiah hari ini masih akan melanjutkan pelemahan dengan kisaran antara 8.880 hingga 8.890 per dolar AS. “Masih kuatnya kekhawatiran terhadap kondisi di Lybia dan negara sekitarnya membuat permintaan dolar AS akan meningkat sehingga akan menekan mata uang Asia dan tidak terkecuali rupiah,” papar Lana.
Ketika pecah kerusuhan di Tasikmalaya, Situbondo dan Rengasdengklok (1996) dan kemudian di Ambon dan Poso (1999) banyak pakar-pakar Melayu (termasuk saya sendiri) dan internasional juga, yang langsung menganalisis dan menyimpulkan bahwa itu bukanlah masalah agama. Demikian pula ketika FPI menyerbu kantor majalah Playboy dan massa yang terdiri dari ribuan orang berunjuk rasa pro RUU-APP, banyak yang hakul yakin bahwa itu hanya ulahnya sekelompok orang yang mengatas namakan agama. Tentu ada motif-motif lain di balik isyu "agama" itu. Mungkin politis, dan sangat boleh jadi ekonomi (termasuk uang demo Rp 15.000 sehari).
Tetapi ketika beberapa minggu yang lalu saya melihat tayangan breaking news CNN dan BBC tentang pesawat-pesawat udara Israel yang membomi Libanon tanpa perikemanusiaan, dan menimbulkan korban luar biasa di kalangan penduduk sipil, termasuk anak-anak dan wanita, saya terperanjat bukan main dan mulai berpikir bahwa jangan-jangan analisis saya selama ini salah (untungnya saya tidak sendirian, karena pakar-pakar ilmu sosial, termasuk para pakar ilmu agama dan tokoh agama sependapat dengan saya). Tidak mungkin kalau hanya sekedar bertujuan politik atau ekonomi (konon untuk menjaga kepentingan AS akan ladang-ladang minyak di Timur Tengah), orang-orang Israel akan tega menyaksikan tayangan TV yang terus-menerus tentang anak-anak kecil berteriak-teriak ketakutan, menjerit-jerit karena luka, bahkan ada yang terkapar mati dengan wajahnya yang masih tersenyum lucu, sementara orantguanya menangis meraung-raung. Orang Israel juga manusia, punya hati punya rasa (mengutip syair lagu pop-rock). Hanya satu yang bisa membuat orang kehilangan hati dan perasaannya seperti itu, yaitu keyakinan akan sesuatu kebenaran yang dianggapnya sangat mutlak.
Di jaman Lon Nol, anggota-anggota pasukan Khmer Merah, dengan santai membelah perut ibu yang sedang hamil hidup-hidup karena keyakinannya bahwa begitulah caranya untuk membasmi imperisalisme dan kapitalisme Amerika. Ideologi mereka pada waktu itu adalah komunis, sama dengan PKI-PKI yang konon membantai rakyat jelata di pemberontakan Madiun 1948, maupun pada peristiwa G-30-S 1965. Tetapi bukan komunisme saja yang bisa mendorong manusia gelapmata seperti itu. Nasionalisme Serbia menyebabkan tentara ex-anak buah Tito itu membabat etnik Bosnia habis-habisanm, dan di zamannya Hitler, nasionalisme Jerman (Nazi) telah menyebabkan pramuka-pramuka Jerman (Hitler Jugend) tega melaporkan tetangga teman mainnya yang kebetulan Yahudi ke Gestapo.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar