Definisi ketahanan ekonomi. Ketahanan ekonomi merupakan suatu kondisi dinamis kehidupan perekonomian bangsa yang berisi keuletan dan ketangguhan, kekuatan nasional dalam menghadapi serta mengatasi segala tantangan dan dinamika perekonomian baik yang dating dari dalam maupun dari luar Negara dan secara langsung maupun tidak langsung menjamin kelangsungan dan peningkatan perekonomian bangsa dan Negara.
Wujud ketahanan ekonomi tercermin dalam kondisi kehidupan perekonomian bangsa yang mampu memillihara stabilitas ekonomi yang sehat dan dinamis, menciptakan kemandirian ekonomi nasional yang berdaya saing tinggi, dan mewujudkan kemakmuran rakyat yang secara adil dan merata. Dengan demikian, pembangunan ekonomi diarahkan kepada mantapnya ketahanan ekonomi melalui suatu ikli usaha yang sehat serta pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi, tersedianya barang dan jasa, terpeliharanya fungsi lingkungan hidup serta meningkatnya daya saing dalam lingkup perekonomian global.
Wujud ketahanan ekonomi tercermin dalam kondisi kehidupan perekonomian bangsa yang mampu memillihara stabilitas ekonomi yang sehat dan dinamis, menciptakan kemandirian ekonomi nasional yang berdaya saing tinggi, dan mewujudkan kemakmuran rakyat yang secara adil dan merata. Dengan demikian, pembangunan ekonomi diarahkan kepada mantapnya ketahanan ekonomi melalui suatu ikli usaha yang sehat serta pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi, tersedianya barang dan jasa, terpeliharanya fungsi lingkungan hidup serta meningkatnya daya saing dalam lingkup perekonomian global.
Krisis Yunani memberikan pelajaran berharga bagi kita semua. Kedisiplinan dalam menjaga kebijakan fiskal ternyata menentukan stabilitas perekonomian suatu negara. Krisis yang terjadi di Eropa belakangan ini kembali membuat kita perlu memperkuat fundamental ekonomi karena ancaman krisis global akan terus terjadi. Beberapa dampak krisis keuangan global dapat berupa berfluktuasinya indeks harga saham, imbal hasil (yield) surat utang negara dan credit default swap (CDS). Dari sektor riil, derivasi krisis keuangan berpotensi menurunkan target penyerapan tenaga kerja nasional.
Beberapa hari ini kita mengalami keresahan yang serupa. Geliat pasar yang ramai di bulan Maret, April, menjadi lesu di bulan Mei ini. Ada sekitar Rp 400 triliun dana asing yang sudah pindah keluar negeri, dari pasar saham dan dialihkan ke investasi lain yang lebih terukur risikonya. Fenomena yang kemudian menurunkan nilai rupiah ke titik Rp Rp 9.300 per dolar AS ini adalah reaksi dari keraguan pasar akibat krisis Yunani dan negara-negara Eropa lainnya yang masih dikhawatirkan akan memengaruhi perekonomian dunia.
Ancaman krisis keuangan akan selalu terjadi sebagai konsekwensi logis dari sistem ekonomi dunia yang terintegrasi. Maka kita perlu membangun ketahanan ekonomi nasional (resilient) dari ketidakpastian-permanen (permanent uncertainty) ekonomi global. Dinamika yang terjadi di pasar karena permanent uncertainty perlu dikelola keseimbangannya, sehingga dapat mencapai stabilitas yang mendukung pembangunan ekonomi. Stabilitas ini dibutuhkan, sehingga pelaku pasar dapat memperkirakan risiko dalam berinvestasi di Indonesia. Singkatnya, tingginya ketidakpastian akibat dari rentannya ketahanan ekonomi nasional dapat berakibat pada semakin tingginya risiko untuk berinvestasi di Indonesia, yang dapat menghambat pembangunan ekonomi, terutama di sektor riil.
Dalam perspektif sektor keuangan, maka penerapan kebijakan fiskal yang sangat hati-hati akan dapat menahan external-shock dengan baik. Kebijakan untuk tetap mempertahankan defisit anggaran pada kisaran 2,1 persen dari PDB (Rp 133,7 triliun), dapat memompa ekonomi nasional untuk tumbuh (growth) secara berimbang dengan tetap memperhatikan target inflasi. Belajar dari pengalaman Yunani, krisis terjadi karena kurangnya prinsip kehati-hatian dalam menetapkan besaran kebijakan fiskal, sehingga akhirnya berpengaruh kepada kemampuan negara untuk memperoleh pendanaan dalam membiayai anggaran dan ditambah dengan besarnya kebutuhan untuk membiayai hutang yang dimiliki.
Hal yang paling dikhawatirkan dari dampak krisis ekonomi adalah kelangkaan 'likuiditas', baik di tingkat global maupun nasional. Pemilik modal akan menahan untuk berinvestasi sampai kondisi dirasa kondusif untuk menjamin tingkat pengembalian (return). Untuk mengantisipasi permasalahan ini, dibutuhkan hubungan yang baik dengan berbagai lembaga keuangan yang dapat menjadi rekan untuk membantu likuiditas sehingga krisis tidak berimbas kepada negara-negara lainnya. Dalam konteks regional, krisis yang terjadi di suatu negara, seperti di Yunani, menjadi tanggung jawab tidak hanya pemerintah negara Eropa, tetapi juga negara tetangganya, seperti Jerman. Aksi yang responsif yang dilakukan oleh negara-negara tetangga ini juga menjadi penting perannya dalam mengantisipasi krisis ekonomi.
Selain dukungan dari lembaga keuangan dan negara-negara tetangga yang mempunyai hubungan dagang yang strategis, kebijakan pemerintah juga perlu diambil untuk lebih mengefektivitaskan pengeluaran pemerintah. Pengeluaran ini diarahkan pada sektor-sektor yang mampu menumbuhkan usaha dan menyerap tenaga kerja. Investasi sektor riil perlu didorong untuk mewujudkan pertumbuhan ekonomi dan menjamin supply barang dan jasa. Sementara penyerapan tenaga kerja dilakukan untuk tetap menjamin kemampuan daya beli masyarakat. Belajar dari krisis ekonomi tahun 2008, maka stimulus fiskal mempunyai peran dalam mengakselarasi pertumbuhan ekonomi dalam negeri saat banyak sektor swasta yang menahan aktivitas usahanya karena ketidakpastian dan risiko yang tinggi.
Krisis yang terjadi juga akan menurunkan permintaan, sehingga untuk negara-negara yang berorientasi ekspor, krisis ekonomi di negara mitra dagang akan menurunkan permintaan dari negara tersebut. Dalam upaya untuk menahan laju perlambatan ekspor, perlu dilakukan beberapa langkah strategis. Pemeritnah perlu melakukan penguatan ekspor melalui diversifikasi pasar dan tujuan ekspor. Misalnya, pemerintah mengambil langkah yang dapat mengurangi ketergantungan (dependency) akan suatu pasar ekspor.
Pemberian insentif berupa pengurangan pajak ekspor, bantuan pembiayaan melalui pembelian Wesel Ekspo Berjangka (WEP), penyederhanaan prosedur ekspor dan perbaikan infrastruktur dapat membantu para eksportir untuk memperluas pasar mereka. Infrastruktur dan pengurangan berbagai pajak ini sudah pernah dilakukan oleh banyak negara ketika mengalami krisis 2008. Indonesia juga mengalokasikan dana untuk stimulus fiskal yang dipakai untuk membangun infrastruktur, selain timulus pajak. China mengalokasikan jumlah besar untuk pembangunan infrastruktur.
Kebijakan untuk komposisi alokasi stimulus fiskal juga perlu disesuaikan dengan nature perekonomian Indonesia. Berapa besar leverage dari stimulus fiskal terhadap pembukaan lapangan kerja di Indonesia, dan tenaga kerja mana yang disasar adalah pekerjaan rumah yang tidak kalah sulitnya bagi pemerintah. Pilihan kebijakan untuk direct spending dibandingkan dengan stimulus pajak mempunyai implikasi masing-masing. Belajar dari krisis 2008, maka pemerintah perlu mempertimbangkan besaran direct spending untuk infrastruktur yang implikasinya langsung diterima sektor riil. Selain itu, kebijakan ini juga perlu didukung oleh kinerja kementerian lainnya, seperti PU (Pekerjaan Umum) yang mempunyai tugas untuk merealisasikan dana untuk membangun infrastruktur ini.
Akhirnya, dalam sistem ekonomi yang digerakkan oleh 'sentimen-pasar', kita perlu menjaga momentum optimisme ekonomi Indonesia di tengah-tengah ancaman krisis ekonomi dunia. Capital outflow merupkan ancaman serius akibat dampak krisis ekonomi di tempat lain. Walaupun memang capital outflow ini terdiri dari dana investor yang bermain di sektor keuangan, pengaruh dari sentimen negatif terhadap pasar akan memberikan efek perlambatan keyakinan terhadap investasi-investasi di sektor riil lainnya.
Sentimen negatif ini menurunkan IHSG dan terdepresiasinya nilai tukar mata uang rupiah. Ini nantinya akan berdampak pada sektor produksi dalam negeri, terutama mereka yang menggunakan komponen impor dalam jumlah besar. Meningkatnya biaya produksi ini akan menurunkan daya saing produk kita dibandingkan negara lainnya. Belum lagi ancaman produk lain yang masuk ke Indonesia seiring dengan ACFTA (ASEAN-China Free Trade Agreement) akan semakin membuat kita perlu bekerja keras dan cermat mengelola berbagai instrumen keuangan yang dapat memitigasi pengaruh global terhadap sektor keuangan dan sentimen negatif yang dapat ditimbulkan.
Sebagai penutup, stabilitas politik perlu kita jaga bersama. Karena hal ini dapat menjaga stabilitas bagi perekonomian regional. Di kawasan ASEAN, politik yang sedang terjadi di Thailand dapat berdampak positif sekaligus juga berpotensi negatif bagi Indonesia. Positif karena Indonesia mendapatkan limpahan modal investasi dan turis akibat destabilitas politik yang terjadi. Namun, pada saat yang bersamaan muncul pemahaman bahwa destabilitas politik akan dapat saja terjadi di Indonesia. Apabila hal ini terjadi, maka akan berdampak pada pegurangan investasi baik dalam pasar uang maupun sektor riil (foreign direct investment).
Berbagai faktor, seperti ketahanan ekonomi nasional terhadap krisis luar negeri yang mempegaruhi sentimen negatif di sektor keuangan, pilihan kebijakan stimulus fiskal yang dapat mengakselarasi pertumbuhan, dan peran sektor riil yang mempunyai daya tahan dalam mendukung keunggulan daya saing dan stabilitas politik regional dan nasional adalah beberapa faktor yang perlu dikelola oleh pemerintah, DPR, LSM dan masyarakat luas. Dengan begitu kita dapat menunjukkan kepada dunia bahwa perekonomian di Indonesia sangatlah kondusif dan memberikan insentif yang cukup untuk siapapun yang ingin berinvestasi dan memberikan kontribusi bagi pembangunan perekonomian Indonesia.
Beberapa hari ini kita mengalami keresahan yang serupa. Geliat pasar yang ramai di bulan Maret, April, menjadi lesu di bulan Mei ini. Ada sekitar Rp 400 triliun dana asing yang sudah pindah keluar negeri, dari pasar saham dan dialihkan ke investasi lain yang lebih terukur risikonya. Fenomena yang kemudian menurunkan nilai rupiah ke titik Rp Rp 9.300 per dolar AS ini adalah reaksi dari keraguan pasar akibat krisis Yunani dan negara-negara Eropa lainnya yang masih dikhawatirkan akan memengaruhi perekonomian dunia.
Ancaman krisis keuangan akan selalu terjadi sebagai konsekwensi logis dari sistem ekonomi dunia yang terintegrasi. Maka kita perlu membangun ketahanan ekonomi nasional (resilient) dari ketidakpastian-permanen (permanent uncertainty) ekonomi global. Dinamika yang terjadi di pasar karena permanent uncertainty perlu dikelola keseimbangannya, sehingga dapat mencapai stabilitas yang mendukung pembangunan ekonomi. Stabilitas ini dibutuhkan, sehingga pelaku pasar dapat memperkirakan risiko dalam berinvestasi di Indonesia. Singkatnya, tingginya ketidakpastian akibat dari rentannya ketahanan ekonomi nasional dapat berakibat pada semakin tingginya risiko untuk berinvestasi di Indonesia, yang dapat menghambat pembangunan ekonomi, terutama di sektor riil.
Dalam perspektif sektor keuangan, maka penerapan kebijakan fiskal yang sangat hati-hati akan dapat menahan external-shock dengan baik. Kebijakan untuk tetap mempertahankan defisit anggaran pada kisaran 2,1 persen dari PDB (Rp 133,7 triliun), dapat memompa ekonomi nasional untuk tumbuh (growth) secara berimbang dengan tetap memperhatikan target inflasi. Belajar dari pengalaman Yunani, krisis terjadi karena kurangnya prinsip kehati-hatian dalam menetapkan besaran kebijakan fiskal, sehingga akhirnya berpengaruh kepada kemampuan negara untuk memperoleh pendanaan dalam membiayai anggaran dan ditambah dengan besarnya kebutuhan untuk membiayai hutang yang dimiliki.
Hal yang paling dikhawatirkan dari dampak krisis ekonomi adalah kelangkaan 'likuiditas', baik di tingkat global maupun nasional. Pemilik modal akan menahan untuk berinvestasi sampai kondisi dirasa kondusif untuk menjamin tingkat pengembalian (return). Untuk mengantisipasi permasalahan ini, dibutuhkan hubungan yang baik dengan berbagai lembaga keuangan yang dapat menjadi rekan untuk membantu likuiditas sehingga krisis tidak berimbas kepada negara-negara lainnya. Dalam konteks regional, krisis yang terjadi di suatu negara, seperti di Yunani, menjadi tanggung jawab tidak hanya pemerintah negara Eropa, tetapi juga negara tetangganya, seperti Jerman. Aksi yang responsif yang dilakukan oleh negara-negara tetangga ini juga menjadi penting perannya dalam mengantisipasi krisis ekonomi.
Selain dukungan dari lembaga keuangan dan negara-negara tetangga yang mempunyai hubungan dagang yang strategis, kebijakan pemerintah juga perlu diambil untuk lebih mengefektivitaskan pengeluaran pemerintah. Pengeluaran ini diarahkan pada sektor-sektor yang mampu menumbuhkan usaha dan menyerap tenaga kerja. Investasi sektor riil perlu didorong untuk mewujudkan pertumbuhan ekonomi dan menjamin supply barang dan jasa. Sementara penyerapan tenaga kerja dilakukan untuk tetap menjamin kemampuan daya beli masyarakat. Belajar dari krisis ekonomi tahun 2008, maka stimulus fiskal mempunyai peran dalam mengakselarasi pertumbuhan ekonomi dalam negeri saat banyak sektor swasta yang menahan aktivitas usahanya karena ketidakpastian dan risiko yang tinggi.
Krisis yang terjadi juga akan menurunkan permintaan, sehingga untuk negara-negara yang berorientasi ekspor, krisis ekonomi di negara mitra dagang akan menurunkan permintaan dari negara tersebut. Dalam upaya untuk menahan laju perlambatan ekspor, perlu dilakukan beberapa langkah strategis. Pemeritnah perlu melakukan penguatan ekspor melalui diversifikasi pasar dan tujuan ekspor. Misalnya, pemerintah mengambil langkah yang dapat mengurangi ketergantungan (dependency) akan suatu pasar ekspor.
Pemberian insentif berupa pengurangan pajak ekspor, bantuan pembiayaan melalui pembelian Wesel Ekspo Berjangka (WEP), penyederhanaan prosedur ekspor dan perbaikan infrastruktur dapat membantu para eksportir untuk memperluas pasar mereka. Infrastruktur dan pengurangan berbagai pajak ini sudah pernah dilakukan oleh banyak negara ketika mengalami krisis 2008. Indonesia juga mengalokasikan dana untuk stimulus fiskal yang dipakai untuk membangun infrastruktur, selain timulus pajak. China mengalokasikan jumlah besar untuk pembangunan infrastruktur.
Kebijakan untuk komposisi alokasi stimulus fiskal juga perlu disesuaikan dengan nature perekonomian Indonesia. Berapa besar leverage dari stimulus fiskal terhadap pembukaan lapangan kerja di Indonesia, dan tenaga kerja mana yang disasar adalah pekerjaan rumah yang tidak kalah sulitnya bagi pemerintah. Pilihan kebijakan untuk direct spending dibandingkan dengan stimulus pajak mempunyai implikasi masing-masing. Belajar dari krisis 2008, maka pemerintah perlu mempertimbangkan besaran direct spending untuk infrastruktur yang implikasinya langsung diterima sektor riil. Selain itu, kebijakan ini juga perlu didukung oleh kinerja kementerian lainnya, seperti PU (Pekerjaan Umum) yang mempunyai tugas untuk merealisasikan dana untuk membangun infrastruktur ini.
Akhirnya, dalam sistem ekonomi yang digerakkan oleh 'sentimen-pasar', kita perlu menjaga momentum optimisme ekonomi Indonesia di tengah-tengah ancaman krisis ekonomi dunia. Capital outflow merupkan ancaman serius akibat dampak krisis ekonomi di tempat lain. Walaupun memang capital outflow ini terdiri dari dana investor yang bermain di sektor keuangan, pengaruh dari sentimen negatif terhadap pasar akan memberikan efek perlambatan keyakinan terhadap investasi-investasi di sektor riil lainnya.
Sentimen negatif ini menurunkan IHSG dan terdepresiasinya nilai tukar mata uang rupiah. Ini nantinya akan berdampak pada sektor produksi dalam negeri, terutama mereka yang menggunakan komponen impor dalam jumlah besar. Meningkatnya biaya produksi ini akan menurunkan daya saing produk kita dibandingkan negara lainnya. Belum lagi ancaman produk lain yang masuk ke Indonesia seiring dengan ACFTA (ASEAN-China Free Trade Agreement) akan semakin membuat kita perlu bekerja keras dan cermat mengelola berbagai instrumen keuangan yang dapat memitigasi pengaruh global terhadap sektor keuangan dan sentimen negatif yang dapat ditimbulkan.
Sebagai penutup, stabilitas politik perlu kita jaga bersama. Karena hal ini dapat menjaga stabilitas bagi perekonomian regional. Di kawasan ASEAN, politik yang sedang terjadi di Thailand dapat berdampak positif sekaligus juga berpotensi negatif bagi Indonesia. Positif karena Indonesia mendapatkan limpahan modal investasi dan turis akibat destabilitas politik yang terjadi. Namun, pada saat yang bersamaan muncul pemahaman bahwa destabilitas politik akan dapat saja terjadi di Indonesia. Apabila hal ini terjadi, maka akan berdampak pada pegurangan investasi baik dalam pasar uang maupun sektor riil (foreign direct investment).
Berbagai faktor, seperti ketahanan ekonomi nasional terhadap krisis luar negeri yang mempegaruhi sentimen negatif di sektor keuangan, pilihan kebijakan stimulus fiskal yang dapat mengakselarasi pertumbuhan, dan peran sektor riil yang mempunyai daya tahan dalam mendukung keunggulan daya saing dan stabilitas politik regional dan nasional adalah beberapa faktor yang perlu dikelola oleh pemerintah, DPR, LSM dan masyarakat luas. Dengan begitu kita dapat menunjukkan kepada dunia bahwa perekonomian di Indonesia sangatlah kondusif dan memberikan insentif yang cukup untuk siapapun yang ingin berinvestasi dan memberikan kontribusi bagi pembangunan perekonomian Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar